Bencana alam, seperti gempa terjadi tanpa terduga dan tak pernah bisa ditolak. Namun bencana alam tersebut dapat diantisipasi jika dapat diprediksi sebelumnya.
Sebagai negara yang sering diguncang gempa dan banjir, Indonesia dipandang perlu untuk memiliki alat pendeteksi bencana alam.
Pendeteksi bencana alam memang tetap tak akan bisa menunjukkan kapan bencana tersebut akan betul-betul terjadi. Namun, gejala-gejala yang terdeteksi bisa membuat manusia bisa lebih waspada dan bersiap ketika bencana alam akhirnya terjadi.
Hal inilah yang melatarbelakangi mahasiswa Kelompok Keahlian Teknologi Informasi STEI ITB membuat sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana alam menggunakan komputasi awan (cloud computing).
Prototipe sistem ini diperkenalkan di acara International Conference on Cloud Computing and Social Networking 2012, yang merupakan bagian dari e-Indonesia Initiative (eII) Forum ke-8. Acara yang digelar di Hotel Preanger, Bandung, ini diadakan selama dua hari, yakni 26 dan 27 April 2012.
"Selama ini, BMKG mungkin telah memiliki sistem pendeteksi bencana alam yang serupa. Alat-alat yang digunakan pun tidak jauh berbeda, namun, disini kami menawarkan sistem baru, yakni memanfaatkan komputasi awan," ungkap Sinung Suakanto, salah satu tim yang membangun sistem ini.
Sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana memiliki tiga peralatan utama, yakni :
1. Sensor
Sensor berfungsi mendeteksi kondisi udara seperti kandungan CO2, LPG, Carbon Monoxide, dan menjadi pengontrol kualitas udara. Selain itu, sensor ini juga bisa digunakan untuk mendeteksi kualitas air seperti kadar pH, oksigen, hingga menentukan tinggi-rendahnya gelombang air.
2. Remote Terminal Unit (RTU)
RTU akan menyimpan data analog maupun digital yang tertangkap oleh sensor dan diteruskan ke server komputasi awan. Alat ini akan selalu berdampingan dengan alat sensor dan bertugas meneruskan informasi sampai ke server.
3. Server komputasi awan
Data yang dikirim oleh RTU akan disimpan di server komputasi awan.
"Selama ini, sistem pendeteksi bencana belum mengadopsi komputasi awan sehingga masing-masing wilayah harus memiliki server sendiri. Setelah adopsi komputasi awan, maka server yang diperlukan hanya berpusat di satu tempat, meski alat sensor dan RTU berada di seluruh wilayah Indonesia," jelas Sinung saat ditemui Kompas.com.
Sistem yang dibangun oleh tim yang terdiri atas tiga orang ini, dibimbing oleh Suhono H. Supangkat (ketua forum eII) dan Suhardi.
Sedangkan anggota tim terdiri dari Sinung Sukanto (mengurusi aplikasi), Tunggul Arief Nugoroho (mengurusi hardware), dan I Gusti Bagus Baskara Nugraha (mengurusi jaringan).
Studi tentang sistem ini masih akan dikembangkan, namun prototipe yang ada, sudah mulai diperkenalkan ke berbagai pihak yang terkait penanggulangan bencana.
Sebagai negara yang sering diguncang gempa dan banjir, Indonesia dipandang perlu untuk memiliki alat pendeteksi bencana alam.
Pendeteksi bencana alam memang tetap tak akan bisa menunjukkan kapan bencana tersebut akan betul-betul terjadi. Namun, gejala-gejala yang terdeteksi bisa membuat manusia bisa lebih waspada dan bersiap ketika bencana alam akhirnya terjadi.
Hal inilah yang melatarbelakangi mahasiswa Kelompok Keahlian Teknologi Informasi STEI ITB membuat sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana alam menggunakan komputasi awan (cloud computing).
Prototipe sistem ini diperkenalkan di acara International Conference on Cloud Computing and Social Networking 2012, yang merupakan bagian dari e-Indonesia Initiative (eII) Forum ke-8. Acara yang digelar di Hotel Preanger, Bandung, ini diadakan selama dua hari, yakni 26 dan 27 April 2012.
"Selama ini, BMKG mungkin telah memiliki sistem pendeteksi bencana alam yang serupa. Alat-alat yang digunakan pun tidak jauh berbeda, namun, disini kami menawarkan sistem baru, yakni memanfaatkan komputasi awan," ungkap Sinung Suakanto, salah satu tim yang membangun sistem ini.
Sistem monitoring keadaan lingkungan dan deteksi dini bencana memiliki tiga peralatan utama, yakni :
1. Sensor
Sensor berfungsi mendeteksi kondisi udara seperti kandungan CO2, LPG, Carbon Monoxide, dan menjadi pengontrol kualitas udara. Selain itu, sensor ini juga bisa digunakan untuk mendeteksi kualitas air seperti kadar pH, oksigen, hingga menentukan tinggi-rendahnya gelombang air.
2. Remote Terminal Unit (RTU)
RTU akan menyimpan data analog maupun digital yang tertangkap oleh sensor dan diteruskan ke server komputasi awan. Alat ini akan selalu berdampingan dengan alat sensor dan bertugas meneruskan informasi sampai ke server.
3. Server komputasi awan
Data yang dikirim oleh RTU akan disimpan di server komputasi awan.
"Selama ini, sistem pendeteksi bencana belum mengadopsi komputasi awan sehingga masing-masing wilayah harus memiliki server sendiri. Setelah adopsi komputasi awan, maka server yang diperlukan hanya berpusat di satu tempat, meski alat sensor dan RTU berada di seluruh wilayah Indonesia," jelas Sinung saat ditemui Kompas.com.
Sistem yang dibangun oleh tim yang terdiri atas tiga orang ini, dibimbing oleh Suhono H. Supangkat (ketua forum eII) dan Suhardi.
Sedangkan anggota tim terdiri dari Sinung Sukanto (mengurusi aplikasi), Tunggul Arief Nugoroho (mengurusi hardware), dan I Gusti Bagus Baskara Nugraha (mengurusi jaringan).
Studi tentang sistem ini masih akan dikembangkan, namun prototipe yang ada, sudah mulai diperkenalkan ke berbagai pihak yang terkait penanggulangan bencana.
0Komentar!